Posted by : Unknown Thursday, June 13, 2013


A. Selamat dari Lisan dan Tangan

Sebagai bahan renungan, mari kita pahami lagi sabda Rasulullah Muhammad saw berikut ini:



الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ




Seorang muslim ialah seseorang dimana muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. (Muttafaq ‘alayh)

Apa yang dimaksud dengan “selamat” di hadits tersebut?

Prof. Quraish Shihab menjelaskan ada dua jenis selamat. Misal kita naik bis, kereta atau pesawat. Di samping kita duduk orang lain. Orang yang duduk di samping kita dikatakan selamat dari kita bila:






  • Kita diam, tidur atau membaca buku/koran/majalah sehingga tidak mengganggunya. Ini disebut as-salâm as-salbiy (السّلام السلبي) atau damai pasif.

    Di buku “Membumikan Al-Qur’an Jilid 2” beliau menguraikan bahwa damai pasif adalah batas antara keharmonisan/kedekatan dan perpisahan, serta batas antara rahmat dan siksaan. Seorang muslim menyandang sifat damai, paling tidak, jika dia benar-benar tidak dapat memberi manfaat kepada selainnya maka jangan sampai dia mencelakakannya. Kalau tidak bisa memberi, maka paling tidak tidak mengambil hak orang lain. Kalau tidak dapat menggembirakan pihak lain, maka paling tidak tidak meresahkannya.

    Atau yang lebih baik lagi:




  • Kita sapa orang tersebut lalu berbincang ramah. Ini disebut as-salâm al-îjâbiy (السّلام الإيجابي) atau damai aktif, lalu mencapai puncaknya dengan ihsân.



Nah, Apakah berkelahi, adu otot, adu jotos, saling tendang, hajar-menghajar atau tawuran sesuai dengan definisi “selamat”? Tentu tidak, bukan?

Suatu hari datang seorang laki-laki kepada Sahabat Salman al-Farisi ra. seraya berkata,

“Wahai hamba Allah, nasihatilah aku!”
“Jangan marah!” Jawab Salman al-Farisi ra.
“Aku tidak mampu.”
“Bila kamu marah, tahanlah lidahmu (dari mengatakan hal-hal jelek) dan tanganmu (dari melakukan perbuatan maksiat).”

Ada sebuah pertanyaan yang terdengar agak aneh sekaligus “lucu” dilontarkan sehubungan dengan hadits di atas. Begini pertanyaannya, “Di hadits tersebut kan disebutkan sesama muslim. Berarti kalau non muslim, boleh dong kita hajar?”

Mungkin karena belum pernah belajar ushul fiqh sehingga pertanyaan tersebut terlontar akibat permainan kata dan logika. Mari kita bahas demi pemahaman keagamaan yang benar.

Pertanyaan tersebut termasuk kategori mafhûm mukhâlafah dan mafhûm mukhâlafah seperti ini keliru.

Apa itu mafhûm mukhâlafah? Bagaimana mafhûm mukhâlafah yang benar?

Di buku “Ushul Fiqih” Prof. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan dilâlah mafhûm al-mukhâlafah sebagai berikut:

Dilâlah mafhûm al-mukhâlafah ialah menetapkan kebalikan dari hukum yang disebut (manthûq) lantaran tidak adanya suatu batasan (qayd) yang membatasi berlakunya hukum menurut nashnya. Dengan demikian suatu nash sekaligus dapat menunjukkan dua hukum, yaitu hukum yang langsung ditunjukkan oleh bunyi lafazh (manthûq) suatu nash dan hukum yang dipahami dari kebalikan nash tersebut. Jika bunyi suatu nash menunjukkan pada hukum halal dengan adanya batasan (qayd), maka nash tersebut juga dapat dipahami sebagai hukum yang mengharamkan bila qayd-nya tidak ada. Seperti firman Allah:


وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ



Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. (QS an-Nisâ’ [4]: 25)

Bunyi (manthûq) ayat tersebut menunjukkan adanya kehalalan bagi seorang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qayd) orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita merdeka.

Ayat tersebut juga dapat dipahami kebalikan (mafhûm mukhâlafah) dari bunyinya yakni haramnya seseorang yang merdeka menikahi hamba sahaya bila ia mampu menikah dengan wanita merdeka.”

Sebagai catatan tambahan, manthûq adalah hukum yang ditunjukkan oleh ucapan lafazh itu sendiri. Adapun mafhûm ialah hukum yang tidak ditunjukkan oleh ucapan lafazh itu sendiri, tetapi dari pemahaman terhadap ucapan lafazh tersebut.

Itulah definisi mafhûm mukhâlafah. Lantas, bagaimana mafhûm mukhâlafah yang benar? Di buku “Usul Fiqih” A. Hanafie, MA menjelaskan bahwa untuk sahnya mafhûm mukhâlafah diperlukan empat syarat, yaitu:

1. Mafhûm mukhâlafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthûq maupun mafhûm muwâfaqah.

Contoh yang berlawanan dengan dalil manthûq:


وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ


Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. (QS al-Isrâ’ [17]: 31)

Mafhûm mukhâlafah­-nya kalau bukan karena takut kemiskinan berarti boleh dibunuh. Tetapi mafhûm mukhâlafah ini bertentangan dengan dalil manthûq:


وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ


Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. (QS al-Isrâ’ [17]: 33)
Adapun conton yang berlawanan dengan mafhûm muwâfaqah sebagai berikut:


فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا


maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka (QS al-Isrâ’ [17]: 23)

Yang disebutkan hanya kata-kata kasar. Mafhûm mukhâlafah­-nya berarti boleh memukuli. Tapi, mafhûm mukhâlafah ini bertentangan dengan mafhûm muwâfaqah-nya, yaitu kata-kata keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.

2. Yang disebutkan (manthûq) bukan suatu hal yang biasa terjadi.


وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ



Dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri (QS an-Nisâ’ [4]: 23)

Dengan perkataan “yang dalam pemeliharaanmu”, tidak boleh dipahami bahwa yang tidak dalam pemeliharaan boleh dinikahi. Perkataan itu disebutkan sebab biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.

3. Yang disebutkan (manthûq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan suatu keadaan.


الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ


Seorang muslim ialah seseorang dimana muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. (Muttafaq ‘alayh)

Dengan perkataan “muslim lainnya” tidak boleh dipahami bahwa orang-orang non muslim boleh diganggu. Perkataan tersebut dimaksudkan alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.

Selain itu, sekian banyak dalil menjelaskan bahwa kita harus berakhlak baik kepada siapa pun, menjadi rahmat bagi segenap alam, toleransi antar sesama dan sebagainya.

Penjelasan ini adalah jawaban pertanyaan yang sedang kita bahas.

4. Yang disebutkan (manthûq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti yang lain.


وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ


janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. (QS al-Baqarah [2]: 187)

Tidak boleh dipahami kalau tidak i’tikaf di masjid boleh mencampuri, karena syarat melakukan i’tikaf adalah di masjid, kalau tidak di masjid i’tikaf tidak sah.

Jadi, perkataan i’tikaf dikumpulkan dengan perkataan masjid, karena masjid ini menjadi syaratnya.

Demikianlah uraian ringkas tentang mafhûm mukhâlafah. Semoga Allah SWT senantiasa memberi hidayah dan pertolongan kepada kita semua sehingga bisa menjadi hamba shaleh, amin.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Arsip Blog

Blogger templates

Labels

- Copyright © Education School Indonesia ( E.S.I ) -UNGGAH.FILE.INDONESIA- Powered by Blogger - Designed by Aditya -