Posted by : Unknown Thursday, June 13, 2013



Ketika fenomena terorisme mulai muncul di wilayah Indonesia, banyak dari kita yang cenderung berpikir konspiratif dalam mengkaji dan membahas fenomena tersebut. Pemahaman kita terhadap terorisme yang disematkan kepada golongan Islam radikal juga semakin terkotak-kotak dan sporadis. Sebagian besar buku yang kita temukan selalu terbagi menjadi dua kutub. Kutub pertama adalah buku-buku yang mencoba mewacanakan kerasnya dakwah Islam dan bahaya laten sebuah gerakan Islam. Sementara itu, kutub kedua berusaha membela (walaupun tidak secara langsung membenarkan) aktivitas jihad sebagian umat Islam. Kutub pertama memiliki pendukung dari kalangan Islam liberal atau kalangan nasionalis sekuler yang fobia terhadap gerakan Islam, terutama yang berkarakter revivalis atau fundamental. Kutub kedua memiliki pendukung dari kalangan gerakan Islam lintas benua. Kutub kedua adalah mereka yang selama ini sudah memiliki kaitan secara historis atau emosional dengan aktivitas jihad di tingkat global—medan jihad seperti Afghanistan. Gaya berpikir konspiratif dalam melihat kasus terorisme juga banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh dari kalangan kutub kedua. Gaya itu menjadikan Amerika atau Yahudi sebagai biang keladi. Sehingga setiap keributan terjadi, dugaan terkuat akan kembali kepada Amerika atau Yahudi. Di luar kedua kutub itu, tersisa pewacanaan dari kalangan Islam yang memilih jalan tengah untuk menyikapi kasus terorisme. Kelompok terakhir ini akhirnya bergabung dengan kelompok humanis dalam menyikapi kasus terorisme.

Sulit sekali mencari buku atau literatur yang komperehensif untuk membahas kekeliruan pemahaman terorisme di kalangan umat Islam. Padahal, kita memerlukan sebuah perenungan yang mendalam mengenai hal tersebut sebelum kita memberikan apresiasi terhadap aktivitas terorisme yang terjadi belakangan ini. Hal tersebut menjadi penting bagi kita semua yang bergelut dalam aktivitas dakwah Islam.
Buku Waqofaat Ma`a Tsamaratil Jihad karya Abu Muhammad al-Maqdisi dapat dijadikan rujukan untuk memberikan pondasi awal tersebut.

Berikut ini adalah beberapa poin perenungan terhadap kesalahan aktivitas Jihad umat Islam menurut al-Maqdisi.

Salah Memilih Sasaran
Aktivitas yang sering kita sebut عملية الاستشّهدية "bom syahid" telah melenceng jauh dari batasan-batasan syar`i yang ditetapkan oleh para ulama. Pertimbangan awal diperbolehkannya operasi tersebut adalah besarnya maslahat yang didapatkan umat Islam sekaligus memberikan mudharat sebesar-besarnya kepada musuh. Operasi bom syahid yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di Palestina misalnya, telah menjadi sebuah momok yang sangat menakutkan bagi Israel sekaligus serangan yang efektif untuk tujuan yang sudah jelas (menghancurkan aset-aset penting Israel). Namun, belakangan ini kita sering melihat banyaknya pemuda Islam yang meniru operasi model tersebut di tempat lain. Dengan semangat yang kurang lebih sama, mereka meledakkan diri sendiri, kemudian membunuh secara acak sasaran yang dianggap musuh Islam. Persoalannya adalah, mereka melakukannya di wilayah yang dihuni banyak orang Islam.
Mereka beroperasi di Karachi, Lahore, Bombay, dan Jakarta. Semua itu adalah wilayah yang banyak dihuni umat Islam. Ketika saudara-saudara kita di Irak dan Afghanistan berusaha menghancurkan gudang senjata milik tentara asing, para "teroris" ini justru memilih hotel dan cafe sebagai sasaran utama. Padahal, sangat jelas kalau di tempat-tempat tersebut terdapat orang-orang Islam. Mereka sering beralasan bahwa operasi pengeboman tersebut merupakan hukuman bagi orang-orang yang bermaksiat (fasik), meskipun di dalam syariat, hukuman bagi orang-orang fasik bukanlah dibunuh.
Kita harus memahami betapa berharganya darah umat Islam yang tertumpah. Menurut para ulama, membiarkan hidup seribu orang kafir masih lebih baik daripada menumpahkan segelas darah seorang mukmin. Jika mereka (para mujahid teror) itu ingin membunuh beberapa orang kafir, sebaiknya mereka tidak melakukannya dengan bom. Operasi tersebut seharusnya bisa diselesaikan dengan beberapa tembakan saja sehingga tidak perlu ada umat Islam yang jadi korban.
"Barangsiapa keluar menyerang, kemudian ia menghantam orang yang baik dan jahat, ia tidak menghindari orang mukmin dan orang yang mendapat jaminan perlindungan, maka ia bukan termasuk golonganku" dan dalam satu riwayat "dan aku bukan termasuk bagian dari dia." [HR.Muslim dan Abu Hurairah]

Mengumbar Ancaman di Saat Lemah
Fenomena lain yang mengiringi isu terorisme adalah video-video rekaman di internet. Era globalisasi dan digital telah menjadikan para pelaku teror ini bak selebritas internasional. Mereka mengunggah (upload) video-video yang berupa ancaman terhadap para penguasa kafir dan musuh Islam. Kita pun dapat dengan mudah mengakses video-video tersebut.
Menurut al-Maqdisi, hal ini merupakan kesalahan fatal dalam sebuah strategi jihad. Ancaman-ancaman tersebut justru membuat musuh semakin mawas diri dan bersiaga penuh. Tindakan tersebut seperti halnya seorang pemburu yang mengusik hewan buruannya sebelum memanah. Padahal, para pengancam itu tidak lebih hebat dari kenekatan sekelompok hooligan. Kondisi tersebut tentu saja membuat musuh semakin gusar dan bereaksi seolah-olah mereka benar-benar terancam. Orang yang cerdik adalah mereka yang mampu menutupi kelemahannya. Dalam situasi perang, orang yang cerdik akan menghantam musuh yang lengah akan kekuatan lawannya.
Allah berfirman dalam surat al-Anfal: 44
وَ يقللكم فى أعينهم ليقضي الله امرا كان مفعولا . . .
"Dan, kamu ditampakkan sedikit di mata mereka karena Allah hendak melakukan urusan yang mesti dilaksanakan"

Menyepelekan Amal Jama`i
Jihad adalah kewajiban setiap individu muslim. Amal ini merupakan puncak dari semua amal. Namun, krisis jamaah saat ini adalah sulitnya mencari sekelompok mujahid yang berjalan tenang, terarah, tidak banyak omong, tidak mudah goyang, dan rapuh. Pentingnya sebuah jamaah adalah untuk menaungi amal jama`i. Sementara itu, salah satu syarat tegaknya amal jama`i adalah adanya aktivitas yang berkesinambungan dengan target yang jelas.
Amal jama`i membutuhkan adanya manhaj dan ushul yang harus selalu ditaati. Hal inilah yang membedakannya dengan amal fardhi (individu). Terkait dengan aktivitas jihad, maka jauh lebih baik apabila dilakukan dalam konteks kejamaahan. Meskipun syariat tetap membolehkan apabila hal tersebut dilakukan sendirian.
"Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (Q.S as-Shaf: 4)
Jika ada seorang ikhwah yang soleh dan taat ingin pergi berjihad, sedangkan ia tidak terikat pada suatu jamaah, maka besar kemungkinan hari ini kita melihatnya berada di Palestina. Tahun berikutnya, ia akan berada di Kashmir. Tahun berikutnya lagi, ia di Afghanistan, begitu seterusnya. Dia adalah seorang mukmin yang pergi menjawab panggilan jihad di mana pun. Menurut al-Maqdisi, amalan yang dilakukan ikhwah itu merupakan amalan yang terbaik bagi dirinya. Tidak diragukan juga bahwa pelakunya adalah penolong agama Allah. Namun, ada hal yang jauh lebih utama bagi agama Allah. Yaitu beramal dan berjihad melalui jamaah yang memiliki manhaj yang jelas serta memiliki skala prioritas.
Jamaah yang baik adalah jamaah yang para qiyadahnya memiliki pemahaman yang baik terhadap fikih syar`i dan fikih waqi (realitas). Mereka menguasai ilmu tersebut secara mendalam dan terperinci sehingga jamaahnya tidak memandang realitas secara dangkal dan lugu. Para qiyadah ini tentu saja tidak menyikapi suatu urusan dengan bekal perasaan dan semangat yang kosong.
Fenomena para pelaku pengeboman belakangan ini menunjukkan hancurnya jamaah yang menaungi mereka. Para qiyadah mereka telah menyia-nyiakan darah dan semangat para pemudanya. Mereka juga seperti tidak belajar dari kesalahan orang lain. Dalam konteks Indonesia, mereka adalah para mujahid yang mengikuti arahan qiyadah mereka untuk hijrah ke Afghanistan pada akhir tahun 80-an. Mereka hijrah dengan alasan terdapatnya sistem pemerintahan Islam serta metode perlawanan yang bersih di negeri tersebut. Ingat, mereka telah meninggalkan medan dakwah yang sangat krusial di negeri mereka sendiri (Indonesia).
Setelah beberapa tahun, Afghanistan tidak lagi seperti yang mereka pikirkan sehingga mereka menjadi terpecah-pecah. Sebagian dari mereka kembali ke Indonesia, tentu saja dengan tampilan para mujahid yang baru saja menantang maut di medan perang. Situasi dunia yang menyudutkan umat Islam dalam konteks terorisme membuat mereka menjadi golongan yang paling diintai oleh pihak intelijen.

Memisahkan Qital Nikayah dengan Tamkin
Ditinjau dari hakikatnya, para ulama membagi jihad ke dalam dua istilah. Pertama adalah "jihad difa`i" (defensif) yang bermakna pembelaan terhadap negeri dan kehormatan umat Islam dari musuh yang menyerang. Istilah kedua adalah "jihad thalab" yang bermakna menyerang musuh-musuh Islam di mana pun mereka berada.
Jihad yang berupa peperangan fisik (qital) dapat dibagi menjadi dua, yaitu qital nikayah dan qital tamkin. Qital nikayah adalah memukul dan menghantam musuh. Sementara itu, qital tamkin adalah menguasai suatu daerah agar umat Islam dapat menjalankan syariatnya secara utuh. Memisahkan kedua jenis qital ini sama dengan menghancurkan seluruh usaha yang telah dibangun.
Ada seorang panglima mujahidin di suatu negeri yang menjawab pertanyaan wartawan asing. Si wartawan bertanya apakah sang panglima akan mengambil alih pemerintahan setelah negerinya dibebaskan? Si panglima menjawab bahwa dirinya adalah seorang mujahid yang tujuan hidupnya adalah memerangi musuh-musuh Allah di muka bumi. Baginya, politik dan kekuasaan bukanlah keahliannya. Jawaban si panglima ini tentu saja jawaban yang fatal. Bagaimana mungkin kita memisahkan qital nikayah (peperangan fisik) dengan qital tamkin (perebutan kekuasaan), sedangkan kita tahu betul pentingya memayungi dakwah secara institusional.
Terkait dengan para pelaku terorisme belakangan ini. Kira-kira, apakah mereka paham terhadap pentingnya qital tamkin dalam usaha memenangi dakwah? Saya pikir tidak. Kalaupun mereka paham, tidak ada sedikit pun usaha konkret yang bisa kita lihat saat ini. Seolah mereka hanya mengenal satu cara: "qital nikayah". Kita saja yang sudah berijtihad untuk melebur dengan sistem demokrasi masih belum bisa berbuat banyak terhadap umat Islam saat ini.
Qital nikayah sudah menjadi realitas umum di berbagai belahan dunia Islam saat ini. Namun, kita perlu memahami qital tamkin sebagai bagian penting dari kemenangan dakwah. Qital tamkin sering juga disebut tahrir (pembebasan) oleh Hizbut Tahrir. Sementara itu, Ikhwanul Muslimin lebih sering menyebutnya dengan istilah "ishlahuddaulah". Qital tamkin memerlukan kemampuan serta syarat yang berbeda dari qital nikayah. Di dalamnya, diperlukan program yang mencakup seluruh bidang dengan sumber daya yang juga memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Seharusnya umat Islam mulai membangun peradabannya sendiri.

Masih banyak poin perenungan dari al-Maqdisi. Lain kali kita bertemu lagi.
Wallahu`alam bima yasna`un

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Arsip Blog

Blogger templates

Labels

- Copyright © Education School Indonesia ( E.S.I ) -UNGGAH.FILE.INDONESIA- Powered by Blogger - Designed by Aditya -